EDUKASI(Catatan.ara) - Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, masih banyak yang mempercayai bahwa bumi berbentuk datar. Kelompok ini dikenal sebagai Flat Earthers.
Mereka menolak pemahaman ilmiah bahwa bumi berbentuk bulat dan justru percaya bahwa bumi adalah piringan datar yang dikelilingi oleh tembok es raksasa. Keyakinan ini bahkan berkembang menjadi teori konspirasi besar yang menyebutkan adanya elite global yang menyembunyikan "kebenaran" tentang bentuk bumi.
Namun benarkah bumi ini datar? Untuk menjawabnya, mari kita telusuri sejarah perkembangan pemahaman manusia tentang bentuk bumi.
Sejarah Pemikiran Manusia tentang Bentuk Bumi
1. Masa Kuno
Sejak zaman kuno, manusia meyakini bahwa bumi berbentuk datar. Persepsi ini muncul karena keterbatasan pengamatan dan pengalaman.
Permukaan bumi yang tampak datar saat dilihat secara langsung, serta fenomena alam seperti air mengalir dari tempat tinggi ke rendah, memperkuat anggapan tersebut.
2. Peradaban Yunani
Perubahan besar terjadi saat peradaban Yunani kuno mulai mengkaji alam semesta secara ilmiah. Filsuf Pythagoras (abad ke-6 SM) menjadi tokoh pertama yang menyatakan bahwa bumi bulat, berdasarkan pengamatan terhadap bentuk bulan dan planet lain.
Anaxagoras (430 SM) memperkuat teori ini dengan mengamati bayangan bumi saat terjadi gerhana bulan. Aristoteles (350 SM) kemudian menunjukkan bukti lain: perubahan konstelasi bintang saat seseorang bergerak ke utara atau selatan.
3. Eksperimen Eratosthenes
Pada tahun 240 SM, Eratosthenes, seorang ilmuwan dan kepala perpustakaan besar di Alexandria, Mesir, melakukan salah satu eksperimen ilmiah paling revolusioner dalam sejarah awal astronomi. Ia berhasil memperkirakan keliling bumi dengan akurasi luar biasa, hanya menggunakan pengamatan sederhana terhadap bayangan matahari di dua kota berbeda: Syene (sekarang Aswan) dan Alexandria.
Eratosthenes mengetahui bahwa pada siang hari saat titik balik matahari musim panas (sekitar 21 Juni), matahari berada tepat di atas kepala di kota Syene. Hal ini terbukti dari tidak adanya bayangan yang dihasilkan oleh objek vertikal seperti tongkat atau sumur yang dalam. Namun, pada waktu yang sama di Alexandria, yang terletak sekitar 800 kilometer di utara Syene, benda vertikal masih menghasilkan bayangan, yang menunjukkan bahwa matahari tidak tepat berada di atas kepala di sana.
Dengan mengukur panjang bayangan di Alexandria, Eratosthenes menghitung sudut deviasi sinar matahari terhadap garis vertikal, yaitu sekitar 7,2 derajat atau 1/50 dari sudut penuh lingkaran (360 derajat). Ia kemudian menggunakan logika geometri sederhana: jika jarak antara Syene dan Alexandria mewakili 1/50 dari keseluruhan lingkaran bumi, maka keliling bumi adalah 50 kali jarak antara kedua kota.
Berdasarkan informasi perjalanan dan catatan jarak yang tersedia pada masa itu, Eratosthenes memperkirakan bahwa jarak antara Syene dan Alexandria adalah sekitar 5.000 stadia (unit panjang Yunani kuno). Maka, keliling bumi diperkirakannya sekitar 250.000 stadia. Jika satu stadion kira-kira setara dengan 157,5 meter (versi yang umum digunakan oleh sejarawan), maka hasil perhitungannya berkisar antara 39.375 km—hampir mendekati angka modern yaitu 40.075 km.
Eksperimen ini bukan hanya luar biasa karena hasilnya yang akurat, tetapi juga karena metode ilmiahnya yang berbasis pada pengamatan, logika geometri, dan pemikiran kritis—jauh sebelum munculnya teleskop atau teknologi pengukuran modern. Ini menjadi bukti penting bahwa pemahaman tentang bentuk bumi sebagai bulat sudah berakar kuat sejak lebih dari dua ribu tahun lalu.
Keberhasilan Eratosthenes menandai salah satu tonggak penting dalam sejarah sains, membuktikan bahwa dengan alat sederhana dan pemikiran logis, manusia mampu mengungkap rahasia besar alam semesta.
Penyebaran Ilmu Geografi dan Tantangan Agama
1. Romawi dan Abad Pertengahan
Bangsa Romawi memperluas pemahaman geografi dan menyebarkan teori bumi bulat. Namun, selama Abad Pertengahan, Eropa mengalami kemunduran sains akibat dominasi Gereja Katolik. Ilmu pengetahuan ditekan dan geosentrisme—keyakinan bahwa bumi adalah pusat alam semesta—mendominasi.
2. Galileo Galilei dan Heliocentrisme
Pada abad ke-17, Galileo Galilei, seorang ilmuwan Italia yang sering disebut sebagai "bapak ilmu pengetahuan modern," memainkan peran kunci dalam mengonfirmasi dan memperjuangkan teori heliosentrisme yang dikemukakan oleh Nicolaus Copernicus lebih dari setengah abad sebelumnya. Teori heliosentris menyatakan bahwa matahari, bukan bumi, adalah pusat tata surya—pandangan yang secara radikal bertentangan dengan kepercayaan dominan saat itu, yakni model geosentris yang didukung oleh Aristoteles dan Ptolemaeus, serta dipegang teguh oleh Gereja Katolik.
Galileo memperkuat teori Copernicus melalui serangkaian pengamatan astronomi yang revolusioner menggunakan teleskop—alat yang baru dikembangkan saat itu dan disempurnakannya untuk tujuan ilmiah. Pada tahun 1609, ia mengarahkan teleskopnya ke langit dan menemukan bukti-bukti mengejutkan: bintik-bintik matahari yang menunjukkan bahwa matahari mengalami perubahan; empat satelit yang mengorbit Jupiter (yang kini dikenal sebagai satelit Galilean), membuktikan bahwa tidak semua benda langit mengelilingi bumi; dan fase-fase Venus, yang hanya dapat dijelaskan jika planet tersebut mengorbit matahari, bukan bumi.
Temuan-temuan ini mendukung dan memperkuat argumen heliosentrisme, dan Galileo mulai secara terbuka membela teori tersebut dalam tulisan-tulisannya, termasuk dalam karyanya yang terkenal, Dialogo sopra i due massimi sistemi del mondo (Dialog tentang Dua Sistem Dunia Utama), yang diterbitkan pada tahun 1632. Buku ini menyajikan perbandingan antara model geosentris dan heliosentris, tetapi secara halus berpihak pada Copernicus. Meskipun ditulis dalam bentuk dialog filosofis, nada dan argumen dalam karya tersebut dianggap menyinggung pihak Gereja.
Akibatnya, pada tahun 1633, Galileo dipanggil oleh Inkuisisi Roma dan diadili karena dugaan bidah. Ia dipaksa untuk menarik kembali dukungannya terhadap heliosentrisme dan dijatuhi hukuman tahanan rumah selama sisa hidupnya. Meskipun secara resmi ia mencabut pandangannya, legenda menyebutkan bahwa setelah pengadilan, ia bergumam, "E pur si muove" ("Namun, ia bergerak")—sebuah pernyataan simbolik bahwa bumi memang bergerak mengelilingi matahari, terlepas dari keputusan otoritas agama.
Galileo tidak hanya membuktikan bahwa bumi bukan pusat alam semesta, tetapi juga meletakkan dasar bagi metode ilmiah modern: observasi sistematis, eksperimen, dan penggunaan alat bantu teknologi untuk menguji hipotesis. Karyanya menjadi jembatan penting antara ilmu pengetahuan klasik dan era sains modern, serta menginspirasi generasi ilmuwan berikutnya seperti Johannes Kepler dan Isaac Newton.
Ironisnya, butuh waktu lebih dari 350 tahun hingga pada tahun 1992, Gereja Katolik secara resmi mengakui kesalahan dalam menghukum Galileo, menandai simbol rekonsiliasi antara sains dan agama. Perjuangannya menunjukkan bahwa pencarian kebenaran ilmiah sering kali menuntut keberanian moral untuk menentang arus pemikiran dominan.
Munculnya Kembali Teori Bumi Datar
1. Samuel Rowbotham dan Eksperimen Bedford Level
Pada abad ke-19, muncul kembali gagasan bumi datar yang sebelumnya telah lama ditinggalkan oleh komunitas ilmiah sejak zaman kuno. Tokoh utama di balik kebangkitan pandangan ini adalah Samuel Rowbotham, seorang penulis dan tokoh kontroversial asal Inggris yang menjadi pelopor dari apa yang kemudian dikenal sebagai gerakan Zetetik—sebuah pendekatan "ilmiah" alternatif yang menolak pandangan konvensional tentang bentuk bumi.
Rowbotham mulai dikenal luas melalui eksperimen yang dilakukannya pada tahun 1838 di kawasan datar yang dikenal sebagai Bedford Level, sebuah kanal lurus sepanjang sekitar 10 kilometer di wilayah Cambridgeshire, Inggris. Dalam eksperimen tersebut, ia mengamati sebuah kapal kecil dengan bendera rendah yang bergerak menjauh dari pandangannya. Menurut prinsip kelengkungan bumi, kapal seharusnya secara bertahap menghilang dari pandangan bagian bawah ke atas karena mengikuti lengkungan bumi. Namun, Rowbotham mengklaim bahwa kapal tetap terlihat sepenuhnya bahkan dari jarak jauh, dan dari sinilah ia menyimpulkan bahwa permukaan bumi sejatinya datar.
Berdasarkan hasil eksperimen ini dan keyakinannya terhadap metode zetetik—yang menekankan pengalaman langsung dan pengamatan inderawi ketimbang teori matematis atau otoritas ilmiah—Rowbotham menerbitkan bukunya yang paling terkenal pada tahun 1865, berjudul Zetetic Astronomy: Earth Not a Globe. Dalam buku tersebut, ia mengemukakan berbagai argumen untuk menolak model heliosentris dan bentuk bumi bulat, termasuk klaim bahwa laut tidak melengkung, bahwa horison selalu tampak rata, dan bahwa tidak ada bukti nyata bumi berputar atau bergerak.
Meskipun telah dibantah oleh berbagai ilmuwan pada masanya, gagasan Rowbotham tetap menarik bagi sebagian kalangan yang skeptis terhadap otoritas ilmu pengetahuan arus utama. Setelah kematiannya, gerakan ini diteruskan oleh murid-murid dan para pengikutnya, yang kemudian membentuk Universal Zetetic Society pada akhir abad ke-19, menjadi wadah formal bagi para pendukung bumi datar.
Eksperimen Bedford Level sendiri terus menjadi bahan perdebatan selama bertahun-tahun, bahkan diulang beberapa kali oleh pihak-pihak yang ingin membuktikan atau membantah hasil Rowbotham. Salah satu versi ulang paling terkenal dilakukan oleh Alfred Russel Wallace—seorang ilmuwan terkemuka dan rekan Charles Darwin—yang menggunakan metode ilmiah dan alat ukur yang lebih presisi untuk menunjukkan bahwa memang ada kelengkungan bumi pada kanal tersebut.
Meskipun tidak pernah diterima oleh komunitas ilmiah yang mengandalkan prinsip observasi sistematis, bukti satelit, dan fisika modern, karya dan pemikiran Samuel Rowbotham tetap memiliki pengaruh dalam subkultur yang meragukan ilmu pengetahuan arus utama. Banyak klaim dan narasi yang beredar di komunitas Flat Earth saat ini secara langsung merujuk pada atau berasal dari karya Rowbotham, menjadikannya tokoh sentral dalam sejarah modern teori bumi datar.
2. Debat Publik dan Pengikut Setia
Eksperimen Rowbotham menarik perhatian publik dan bahkan membuat banyak orang percaya kembali pada teori bumi datar. Pendukungnya seperti John Hampden aktif mengikuti debat ilmiah, meski sering berakhir dengan kontroversi hukum.
Flat Earth Society di Era Modern
1. Kebangkitan Teori Konspirasi
Di zaman modern, Flat Earth Society kembali mencuat, khususnya lewat internet. Banyak penganutnya bukan sekadar mempercayai bumi datar, tapi juga meyakini bahwa bukti-bukti ilmiah telah dimanipulasi oleh lembaga antariksa seperti NASA.
Popularitasnya juga didukung oleh terdapatnya beberapa artist hollywood yang mempercayai bahwa bumi itu datar. Bahkan Rapper B.O.B menggalang dana penelitian untuk membuktikan bahwa bumi itu datar.
Namun setelah bertahun-tahun penggalangan dana tersebut tak kunjung mencapai target, para Flat Earthers meyakini bahwa penggalangan dana tersebut pasti di sabotase oleh elit global. Namun lagi-lagi ini hanyalah asumsi mereka, karna tidak ada bukti pasti.
2. Argumen Flat Earthers
1. Tidak percaya institusi resmi, mereka menolak semua bukti dari lembaga seperti NASA karena dianggap bagian dari konspirasi global.
2. Mempercayai model bumi cakram, bumi digambarkan sebagai piringan datar dengan kutub utara di tengah dan dikelilingi tembok es di pinggir.
3. Cakrawala datar mereka mengklaim bahwa garis cakrawala tampak lurus, tidak melengkung, sebagai bukti bumi datar.
Sejak zaman Yunani kuno hingga era modern, bukti-bukti ilmiah terus memperkuat bahwa bumi berbentuk bulat. Dari eksperimen sederhana hingga teknologi luar angkasa, semua mengarah pada kesimpulan yang sama.
Keberadaan Flat Earth Society hari ini lebih mencerminkan ketidakpercayaan terhadap institusi dan teori konspirasi daripada bukti ilmiah. Di era informasi seperti sekarang, pemahaman yang berbasis data dan sains seharusnya menjadi pijakan utama dalam menjawab pertanyaan besar tentang dunia yang kita tinggali.
Kalau kalian lebih percaya bumi datar atau bundar nih? Kalo aku lebih yakin bundar sih, karna sebenarnya pengamatannya lebih masuk akal, dan dapat dibuktikan. Misalnya, saat kita berdiri di dermaga pelabuhan A, kita tidak dapat melihat dermaga pelabuhan daerah lain.
Jika memang bumi itu datar seperti keyakinan Flat Earthers, maka harusnya dari kita dapat melihat dermaga-dermaga pelabuhan lainnya. Bahkan saat naik pesawat, kita juga tidak bisa melihat ujung bumi, kalau bumi itu datar dari jark ketinggian pesawat harusnya ujung bumi bisa terlihat walaupun hanya setitik.
Ini menunjukkan bahwa bumi memiliki kurva atau garis melengkung, jika memang bumi datar mengapa harus ada kurva atau lengkungan?

Komentar